dc.contributor.author | ARISANTI, DESI | |
dc.date.accessioned | 2018-03-08T07:28:58Z | |
dc.date.available | 2018-03-08T07:28:58Z | |
dc.date.issued | 2017-08-24 | |
dc.identifier.uri | http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/17822 | |
dc.description | Isu tentang pemanasan global telah menjadi ancaman bagi keamanan
setiap manusia, karena semakin meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca
(GRK) yang dihasilkan dibumi dan faktor penyebab adalah aktivitas manusia
yang secara terus menerus menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil
seperti batubara, gas bumi dan minyak bumi. Pada saat ini peningkatan emisi
GRK tidak hanya disebabkan oleh sektor industri yang dihasilkan oleh negara
maju, namun negara berkembang juga ikut terlibat menyumbang emisi GRK.
Peningkatan emisi ini dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan yang
telah mencapai 20% dari keseluruhan emisi GRK global setiap tahunnya.
Indonesia menyumbang 5% dari GRK dunia dimana dihasilkan dari
proses indutrialisasi dan pembalakan hutan secara ilegal serta pembukaan
lahan perkebunan dengan cara di bakar. kerentanan Indonesia terhadap
dampak perubahan iklim yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi
terganggu dan tidak berkelanjutan menjadi pendorong Indonesia melakukan
diplomasi lingkungan dengan memanfaatkan poin poin pada Bali Action Plan
pada COP ke 13, skema REDD+ menjadi acuan dalam politik lingkungan
luar negeri Indonesia menghadapi permasalahan lingkungan yang juga
menjadi perhatian negara- negara yang perduli terhadap degradasi
lingkungan.
Bertolak pada konvensi tingkat tinggi perubahan iklim di Paris pada
tahun 2015 Indonesia sangat berkepentingan untuk meratifikasi perjanjian
Paris karena Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi
ancaman terhadap dampak perubahan iklim dan sekaligus tantangan untuk
merubah pola pembangunan rendah karbon sesuai dengan sustainable
development goals Perjanjian Paris. Indonesia berkomitmen menurunkan gas
emisi pada tahun 2030 hingga pada angka 29% dengan upaya sendiri, dan
41% dengan bantuan internasional. Jika Perjanjian Paris sudah enter into
force, maka persidangan dalam membangun instrumen pelaksanaan
Perjanjian Paris akan dilakukan dibawah CMA, dimana hanya negara pihak
(parties) yang sudah meratifikasi PA(Paris agreement) saja yang berhak ikut
dalam persidangan tersebut, sehingga jika Indonesia ingin menjaga
kepentingan nasionalnya maka Indonesia harus menjadi bagian dari negara
pihak yang meratifikasi Perjanjian Paris. Dengan demikian Indoensia dapat
menjalankan program pengurangan emisi gas dan degradasi hutan tanpa
harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi. | en_US |
dc.publisher | MIHI UMY | en_US |
dc.subject | Kebijakan luar negeri Indonesia, Lingkungan internasional, Perubahan iklim, Politik lingkungan | en_US |
dc.title | POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM ISU LINGKUNGAN: STUDI KASUS “KEPENTINGAN INDONESIA DALAM KTT PERUBAHAN IKLIM DI PARIS TAHUN 2015” | en_US |
dc.title.alternative | STUDI KASUS “KEPENTINGAN INDONESIA DALAM KTT PERUBAHAN IKLIM DI PARIS TAHUN 2015” | en_US |