PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TUNAGRAHITA SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Abstract
Penulisan skripsi ini di latar belakangi oleh ketertarikan penulis atas perlindungan hukum terhadap tunagrahita sebagai korban tindak pidana perkosaaan dalam sistem peradilan pidana. Tujuan dalam penulisan skripsi ini untuk mengetahui bagaimana kedudukan keterangan korban penyandang tunagrahita sebagai saksi dalam sistem peradilan pidana serta mengetahui bagaimana perlindungan hukumnya di dalam sistem peradilan pidana yang ada. Penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sedangkan pengumpulan data melalui studi pustaka dan wawancara. Metode analisis pada penelitian ini berupa metode deskriptif yaitu metode analisis yang digunakan untuk memaparkan suatu fenomena secara jelas dan rinci.
Hasil penelitian menunjukakan bahwa kedudukan keterangan saksi korban penyandang tunagrahita adalah sebagai petunjuk. Hal ini karena acuan dalam beracara adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan saksi korban penyandang tunagrahita masuk kedalam klasifikasi pasal 171 huruf b KUHAP tersebut sehingga dalam memberikan keterangannya ia tidak di sumpah dan ini menimbulkan akibat hukum berupa keterangan yang diberikannya bukan merupakan alat bukti ketarangan saksi yang sah, namun digunakan sebagai petunjuk apabila keterangan yang diberikan bersesuaian dengan alat bukti sah lainnya. Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan yang menyandang tunagrahita pada dasarnya sama dengan perlindungan hukum terhadap korban yang normal, hanya saja pada korban yang menyandang tunagrahita diperlukan penanganan yang berbeda karena walaupun korban memeiliki usia kalender dewasa namun ia memiliki usia mental dibawah umur dan juga korban membutuhkan ahli psikologi untuk memahami kondisi mental korban.
Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan yang meyandang tunagrahita masih belum maksimal. Ketentuan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kurang memberikan keterangan yang cukup sehingga hakim menafsirkan berbeda-beda. Dibutuhkan pengaturan khusus yang mengatur ketentuan mengenai kategori seseorang yang dianggap sakit ingatan atau sakit jiwa, sehingga tidak multi tafsir